Senin, 25 April 2011

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN SKLEROSIS SISTEMATIK


SKLEROSIS SISTEMATIK
A.    PENGERTIAN
Beberapa pengertian Sklerosis Sistematik :
Ø  Sklerosis sistemik adalah panyakit jaringan ikat yang ditandai oleh fibrosis dan perubahan degeneratif pada kulit, sinovium, dan arteri ; juga pada parenkim organ dalam terutama esophagus, usus, paru, jantung, ginjal dan kelenjar gondok. Penyakit ini dikenal juga dengan nama scleroderma.
Ø  Scleroderma ialah pengentalan patologis dan pengerasan kulit yang mempengaruhi sirkulasi pembuluh darah, jaringan penghubung dan organ dalam tubuh. Scleroderma biasanya menyebabkan fibrosis (perusakan jaringan) terbentuk di kulit dan/atau organ-organ bagian dalam. Fibrosis ini pada akhirnya menyebabkan kulit atau organ yang bersangkutan mengeras. Karena itu scleroderma terkenal sebagai “penyakit yang mengubah orang menjadi batu”.

B.     EPIDEMOLOGI
Kasus Skleroderma pertama kali dilaporkan oleh Carlo Curzio pada tahun 1753 di Napoli yang menyerang seorang wanita yang berumur 17 tahun. Hubungan Skleroderma dengan fenomena Raynaud, pertama kali dilaporkan oleh Maurice Raynaud pada tahun 1865. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya diketahui bahwa penyakit ini juga menyerang organ viseral. Pada tahun 1964, Goetz mengusulkan istilah Progressive Systemic Sclerosis yang menggambarkan lesi yang luas, baik di kulit maupun di organ viseral. Pada tahun 1964, Winterbauer mendiskripsikan salah satu varian dari Skleroderma yang hanya terbatas pada ekstremitas distal dan muka yang disebut CREST Syndrome (calcinosis, Raynaud’s phenomenon, esophageal dysmotility, skerodactily, teleangiectasis).
Prevalensi penyakit ini relatif rendah karena banyak kasus yang tidak dilaporkan, apalagi kasus yang tidak disertai kelainan kulit. Penelitian pada masyarakat umum di Carolina Selatan mendapatkan prevalensi sebesar 19 – 75 kasus per 100.000 penduduk dengan perbandingan wanita dan laki-laki 2,9 – 4 : 1. Pada penelitian di Tennessee, ternyata jumlah penderita Skleroderma pada wanita usia reproduksi (20 – 44 tahun) 15 kali jumlah penderita laki-laki pada usia yang sama, sedangkan pada wanita usia 45 tahun atau lebih, frekwensinya hanya 1,8 kali penderita laki-laki pada usia yang sama.
Hubungan penyakit ini dengan ras tidak jelas, walaupun penderita Skleroderma pada kulit berwarna lebih banyak dibandingkan kulit putih. Selain itu beberapa faktor lingkungan mungkin berhubungan dengan timbulnya Skleroderma, misalnya debu silika dan implantasi silikon. Beberapa bahan kimia seperti vinil-klorida, epoksi-resin dan trikoroetilen serta obat-obatan seperti bleomisin, pentazosin dan L-triptofan, juga diketahui berhubungan dengan timbulnya Sklerosis Sistemik. Pemaparan terhadap vinil-klorida diketahui berhubungan dengan timbulnya Skleroderma yang disertai fenomena Raynaud, akro-osteolisis dan fibrosis paru. Sedangkan pemakaian bleomesin pada kanker testis, terutama bila dikombinasi dengan sis-platinum, ternyata berhubungan dengan timbulnya Skleroderma, fenomena Raynaud dan fibrosis paru.Sclerosis Sistemik merupakan penyakit yang terdapat di seluruh dunia dan dijumpai pada semua bangsa. Biasanya dimulai pada usis 20-50 tahun, jarang pada anak-anak. Frekuensi pada wanita 3 kali frekuensi pria.
Berdasarkan informasi dari Scleroderma Foundation, penyakit ini menyerang wanita dan pria dengan perbandingan 4:1. Penyakit ini menyerang 30 orang dari 100.000 orang di Amerika.

C.     KLASIFIKASI
Pada tahun 1980, Amerikan Rheumatism Association (ARA) menganjurkan kriteria pendahuluan untuk klasifikasi sklerosis sistemik progresit.
Kriteria ini terdiri atas :
a.       Kriteria mayor :
Skleroderma proksimal : penebalan, penegangan dan pengerasan kulit yang simetris pada kulit jari dan kulit proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal atau metatarsofalangeal.
Perubahan ini dapat mengenai seluruh ekstremitas, muka, leher dan batang tubuh (toraks dan abdomen)


b.      Kriteria minor :
1.      Sklerodaktili : perubahan kulit seperti tersebut diatas, tetapi hanya terbatas pada jari.
2.      Pencekungan jari atau hilangnya substansi jari. Daerah yang mencekung pada ujung jari atau hilangnya substansi jarinagan jari tersebut akibat iskemia.
3.      Fibrosis basal di kedua paru. Gambaran linier atau lineonoduler yang retikuler terutama di bagian basal kedua paru tampak pada gambaran foto toraks standard. Gambaran paru mungkin menimbulkan bercak difus atau seperti sarang lebah. Kelainan ini bukan merupakan kelainan primer paru.
Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan bila didapatkan 1 kriteria mayor atau 2 atau lebih kriteria minor .
Secara klinik, sklerosis sistemik dibagi dalam 5 kelompok, yaitu :
1.      Sklerosis sistemik difus, dimana penebalan kulit terdapat di ekstremitas distal, proksimal, muka dan seluruh batang tubuh.
2.      Sklerosis sistemik terbatas, penebalan kulit terbatas pada distal siku dan lutut, tetapi dapat juga mengenai muka dan leher. Sinonimnya adalah CREST Syndrome (C=kalsinosis subkutan, R=fenomena Raynaud, E=dismotilitas esophagus, S=sklerodaktili, T= teleangiektasis).
3.      Sklerosis sistemik sine skleroderma, secara klinis tidak didapatkan kelainan kulit, walaupun terdapat kelainan oragan dan gambaran serologik yang khas untuk sklerosis sistemik.
4.      Sklerosis sistemik pada overlap syndrome, yaitu bila didapatkan kriteria yang lengkap untuk sklerosis sistemik bersamaan dengan kriteria lengkap untuk lupus eritrematosus sistemik, arthritis rheumatoid atau penyakit otot inflamasi.
5.      Penyakit jaringan ikat yang tidak terdiferensiasi, yaitu bila didapatkan fenomena Raynaud dengan gambaran klinis dan/atau laboratorik sesuai dengan sklerosis sistemik.
Ada beberapa bentuk skleroderma yang mengenai kulit secara lokal tanpa disertai kelainan sistemik. Keadaan ini disebut skleroderma lokal dan harus dibedakan dengan sklerosis sistemik terbatas. Termasuk dalam kelompok ini adalah morfea, skleroderma linier dan skleroderma en, coup de sabre.
Morfea adalah perubahan skleroderma setempat yang dapat ditemukan pada bagian tubuh mana saja. Fenomena Raynaud sangat jarang didapatkan.
Skleroderma linier, umumnya didapatkan pada anak-anak, ditandai oleh perubahan skleroderma pada kulit dalam bentuk garis-garis dan umumnya disertai atropi otot dan tulang dibawahnya.
Skleroderma en coup de sabre, merupakan varian skleroderma linier, dimana garis yang sklerotik terdapat pada ekstremitas atas atau bawah atau daerah frontoparietal yang mengakibatkan deformitas muka dan kelainan tulang.
Table 1. Perbedaan antara Sklerosis Sistemik Terbatas dan Sklerosis Sistemik Difus.
Sklerosis sistemik terbatas
Sklerosis sistemik difus
Fenomena Raynaud berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Fenomena Raynaud berlangsung dalam jangka waktu yang singkat; kelainan kulit timbul sebelum terjadi kelainan fenomena Raynaud.
Pembengkakan jari, intermiten dalam jangka waktu yang lama.
Pembengkakan tangan dan kaki.
Progesifitas lambat.
Progesifitas cepat.
Dapat disertai artralgia ringan, jarang mengenai tendon.
Disertai artralgia/artritis, sindrom terowongan karpal.
Problem utama : ulkus jari, fibrosis esofagus, usus halus dan paru.
Semua organ viseral dapat terkena.
10% disertai hipertensi pulmonal dan fatal.
Jarang disertai hipertensi pulmonal.
Antisentromer pada 50 – 90% kasus: Anti-topi-1 pada 10 – 15% kasus.
Antisentromer pada 5% kasus: Anti-topi-1 pada 20 – 30% kasus.


D.    FAKTOR PENCETUS
Mengutip dari Info Sehat tabloid Nyata edisi April 2005, beberapa ahli menduga penyakit ini disebabkan oleh faktor pencetus berupa hormon terutama hormon estrogen, zat kimia seperti vinyl chloride atau trichloroehylene dan infeksi virus seperti Human Cytomegalovirus dan Human Herpes Virus. Penyakit ini diduga tidak menular dan tidak bersifat turunan. Faktor resiko terjadinya skleroderma adalah pemaparan debu silika dan polivinil klorida.

E.     PATOLOGI
Fibrosis pada kulit dan organ lainnya, termasuk pembuluh darah, merupakan gambaran patologik yang paling sering ditemukan pada sklerosis sistemik. Peningkatan matriks ekstraseluler pada dermis, terutama kolagen I dan III, yang disertai penipisan epidermis dan hilangnya rate pegs merupakan gambaran patologik yang khas pada sklerosis sistemik. Hal ini menyebabkan penebalan kulit yang khas pada skleroderma. Pada stadium awal, tampak infiltrasi sel radang mononuklear di dalam dermis, terutama limfosit T dan sel mast. Sel-sel ini, banyak ditemukan mengelilingi pembuluh darah dermis. Pada stadium akhir (fase atrofik), kulit relatif aseluler.
Lesi vaskuler pada kulit menunjukkan gambaran yang sama dengan lesi pada organ lainnya. Tunika intima arteri dan arteriol tampak berproliferasi sehingga lumen menjadi sempit. Dengan tehnik nailfold capilaroscopy, akan tampak kerusakan dan hilangnya kapiler yang makin lama makin banyak. Pada pembuluh darah besar, akan tampak hiperlasia tunika intima, sehingga lumennya menyempit dan akhirnya berobliterasi.
Pada paru-paru, dapat ditemukan 2 gambaran patologik, yaitu fibrosis paru dan kelainan vaskuler. Walaupun kedua keadaan ini sering bersamaan, tetapi pada wanita dengan skleroderma yang terbatas sering hanya didapatkan kelainan pembuluh darah paru yaitu penebalan tunika media, sehingga terjadi penyempitan lumen dan timbul hipertensi pulmonal yang dapat berakhir sebagai gagal jantung kanan.
Stadium awal fibrosis paru pada sklerosis sistemik, merupakan reaksi radang akut yang ditandai oleh peningkatan makrofag alveolar dan sel radang polimorfonuklear. Pada penelitian in vitro, ternyata makrofag alveolar penderita sklerosis sitemik memproduksi fibronektin dalam jumlah yang banyak yang berperan dalam pertumbuhan fibroblas. Pada stadium lanjut, tampak deposisi kolagen dan komponen jaringan ikat lainnya di ruang interstitial alveolar sehingga pada akhirnya akan tampak jaringan fibrosa yang lebih banyak dibandingkan ruang udara alveolar. Akibatnya proses difusi di dalam paru-paru akan terhambat.
Pada jantung, sklerosis sitemik dapat menyerang perikardium dan miokardium. Kelainan pada perikardium ditandai oleh fibrosis dan penebalan perikardium parietal dan viseral yang akhirnya dapat berkembang menjadi perikarditis konstriktif. Pada miokardium, tampak proliferasi intima dan penyempitan pembuluh darah koroner. Disekeliling pembuluh darah koroner, ditemukan banyak jaringan fibrosa. Akhirnya dapat timbul vasospasme dan infark miokard.
Pada saluran cerna, lesi terbanyak terdapat pada esofagus, walaupun gaster, usus halus proksimal dan kolon juga dapat terserang. Secara histologi, tampak gambaran fibrosis pada tunika propia dan submukosa, serta peningkatan sel radang pada tunika muskularis. Akibat fibrisis maka peristaltik usus akan berkurang. Akibat fibrosis, atropi lapisan otot dan berkurangnya peristaltik, akan timbul divertikel di kolon dengan mulut yang lebar. Pada esofagus dapat timbul Barrett’s esophagus (gastrikasi esofagus distal). Walaupun demikian, insiden adenokarsinoma esofagus pada keadaan ini sangat rendah.
Pada ginjal akan tampak lesi arteriol yang berupa proliferasi intima, penipisan tunika media dan redupikasi lamina elastika. Membran basal glomeruli mengalami duplikasi, tetapi tidak ada tanda-tanda glomerulonefritis. Gambaran skerotik pada glomeruli, merupakan tanda khas infark korteks ginjal dan stadium akhir skleroderma. Pada sklerosis sistemik yang disertai kelainan ginjal, sering didapatkan hemolisis mikroangiopatik akibat kerusakan fisik eritrosit yang beredar pada gangguan sirkulasi renal yang berat.
Pada otot rangka, akan tampak jaringan fibrosa perivaskuler yang menyebabkan penurunan kekuatan otot dan peningkatan enzim otot dalam serum yang ringan. Selain itu dapat juga terjadi kelainan seperti yang tampak pada poli dan dermatomiositis yaitu infiltrasi limfosit perivaskuler, nekrosis, degenerasi dan regenerasi jaringan otot. Secara klinik akan tampak kelemahan otot proksimal dan peningkatan enzim otot serum yang bermakna. Pada tendon akan tampak deposisi fibrin dalam sarung tendon, sehingga gerak tendon terbatas dan akhirnya dapat timbul kontraktur fleksi, terutama pada jari-jari

F.      PATOFISIOLOGI
Secara pasti, patogenesis sklerosis sistemik tidak diketahui. Diduga sesuatu faktor pencetus yang sampai sekarang belum diketahui, mengaktifkan sistem imun dan menimbulkan kerusakan-kerusakan sel endotelial. Kerusakan sel endotelial akan mengaktifkan trombosit, sehingga trombosit mengeluarkan berbagai mediator seperti PDGF, TGF-B dan CATP-III yang akan menyebabkan proliferasi fibroblas dan sintesis matriks oleh fibroblas. Aktivasi sistem imun juga akan berakhir pada proliferasi fibroblas dan sintesis matriks.
Secara skematis, patogenesis sklerosis sistemik dapat digambarkan seperti pada gambar :
Produksi matriks poliferasi
Factor Pencetus
Aktivasi system imun
Kerusakan endothelial dan aktivasi
Fenomena Raynaud’s
Sel LAK
IL-2
Sel T
Sel B
Autoantibod i
IL-3
IL-4
Sel Mast
Heparin
IL-1
PDGT
Makrofag
TGF-B
Aktivasi trombosit dan pelepasan PDGT,TGF-B, CAPT III
Fibroblast
 



















G.    GAMBARAN IMUNOPATOLOGI
Berbagai kelainan imunitas humoral dan seluler, tampak terjadi pada penderita sklerosis sistemik. Pada umumnya kelainan imunitas ini menggambarkan proses autoimun yang sedang terjadi yang menghasilkan berbagai autoantibodi terhadap berbagai sel dan konstituen jaringan.
Beberapa kelainan serologik yang nonspesifik adalah ditemukannya hipergammaglobulinemia poliklonal, krioglobulinemia, faktor rheumatoid dan uji VRDL yang positif palsu.
Pada 95% penderita sklerosis sitemik, didapatkan antibodi anti-nuklear (antinuclear antibodi, ANA). ANA spesifik terhadap DNA topoisomerase I (Anti-topoisomerase I, anti-Sel-70) didapatkan pada 20-30% penderita, dan separuhnya terdapat pada penderita sklerosis sistemik difus. Enzim DNA topoisomerase I sangat penting peranannya pada proses pembukaan gulungan DNA untuk replikasi dan transkripsi RNA.
ANA spesifik yang lain adalah anti DNA-histone-complex yang banyak ditemukan pada penderita sklerosis sistemik dengan fibrosis paru, anti Ku yang banyak ditemukan pada penderita sklerosis sistemik dengan miopati inflamasi, anti PM-Sel yang banyak ditemukan pada penderita sklerosis sistemik dengan miopati inflamasi dan kelainan ginjal, anti RNA-polimerase I, II dan III yang banyak ditemukan pada kelainan ginjal, anti U3-RNP yang berhubungan dengan kelainan jantung dan paru-paru, anti U1-RNP yang berhubungan dengan artritis dan hipertensi pulmonal dan ANA spesifik lainnya (table 1).
Autoantibodi lain yang sering ditemukan adalah antibodi antisentromer yang terdapat pada 30% penderita sklerosis sistemik yang terbatas dan CREST Syndrome. Ada 3 antigen sentromer yang spesifik pada penderita sklerosis sistemik yaitu CENP-A (17/19 kDa protein), CENP-B (80 kDa protein) dan CENP-C (120 kDa protein). Adanya autoantibodi terhadap antigen sentromer menunjukkan tingginya pemecahan kromosom.
Autoantibodi lain yang sering ditemukan pada CREST Syndrome adalah antibodi anti-mitokondrial yang merupakan tanda khas adanya sirosis bilier primer.
Antibodi lain terhadap self-protein adalah antibodi anti-kolagen tipe I,III,IV dan VI. Antibodi anti-kolagen tipe IV berhubungan dengan beratnya kelainan paru pada sklerosis sistemik. Selain itu juga dapat ditemukan Circulating Imune Complex (CIC) yang berhubungan dengan perjalanaan penyakit yang lama.
Saat ini belum diketahui apa dan bagaimana peranan antibodi terhadap material inti sel pada patogenesis sklerosis sistemik. Salah satu dugaan adalah bahwa ANA turut berperan pada perusakan sel endotelial.
Selain kelainan imunitas humoral, juga terjadi kelainan imunitas seluler pada sklerosis sistemik. Secara umum didapatkam limfopenia dengan rasio sel T dan sel B yang normal, tetapi didapatkan peningkatan rasio sel T penolong (T-4) terhadap sel T penekan (T-8+). Selain itu juga terdapat penurunan kadar sel NK (Natural Killer) yang pada permukaannya terdapat antigen T-8+. Sel-sel inflamasi mononuklear banyak terkumpul pada lapisan dermis penderita sklerosis sistemik dan pada umumnya sel T penolong yang teraktivasi. Sel T berperan memproduksi interleukin-2 (IL-2) yang dapat merubah sel NK menjadi sel LAK (Lymphocite-activated killer) yang ternyata sangat penting pada kerusakan endotelial. Selain itu sel T juga berperan pada Graft-versus-host disease (GVHD) pada penderita yang menjalani transplantasi sumsum tulang. Kelainan ini ditandai oleh adanya fenomena Raynaud, sklerosis dermal (terutama pada jari) dan kelainan vaskuler.
Tabel 1 : Kelainan imunitas humoral pada penderita sklerosis sistemik 9
Abnormalitas humoral
Persentase
Hipergamaglobulinemia poliklonal
Faktor rheumatoid
Antibodi antinuklear (ANA)
Anti DNA-topoisomerase I (Anti-Sel-70)
Anti DNA-histone-complex
Anti nukleolar 7,2-RNP (anti Th-RNP & anti To-RNP)
Anti U3-RNP-associated fibrillarin
Anti U-1 RNP
Anti RNA-polymerase I,II,III
Anti Ku
Anti PM-Sel (PM-1)
Anti SS-A (Ro) dan SS-B (La)
Anti Sel-4
Anti Sel-6
Antibodi antisentromer
Antibodi antimitokondrial
Antibodi antikardiolipin
Antibodi anti-kolagen tipe I
Antibodi anti-kolagen tipe IV
Circulating immune cimplex (CIC)
30%
30 – 50%
95 %
5%
5%
25%
86%
44%
55%
Fagosit mononuklear juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam patogenesis sklerosis sistemik, terutama makrofag alveolar. Sel-sel ini memproduksi berbagai sitokin seperti transforming growth factor-B (TGF-B), platelet-derived growth factor (PDGF), tumor necrosis factor (TNF), IL-1B, berbagai protease dan mediator lain yang penting pada patogenesis sklerosis sistemik.
Sel lain yang banyak ditemukan di dalam dermis penderita sklerosis sistemik adalah sel mast. Sel ini berperan dalam memproduksi berbagai mediator seperti triptase yang dapat merusak sel endotel, serta histamin yang dapat merangsang proliferasi dan sintesis matriks fibroblas dan menyebabkan retraksi sel endotel.
Berbagai sitokin meningkat kadarnya pada penderita sklerosis sistemik, seperti fibronektin, IL – 1, IL – 2, PDGF, TGF-B, Connective-tissue activating peptidase (CTAP), endotelin dan interferon-gamma (IFN-g).
Tabel 2 : Berbagai sitokin yang berperan pada penderita sklerosis sistemik
Jenis Sitokin
S u m b e r
Peranannya pada patogenesis
Fibronektin
Fibroblas, sel endotel, makrofag, hepatosit
Kemoatraktan monosit & fibroblas, mitogen fibroblas
IL-1
Makrofag, sel endotel, limfosit, fibroblas, sel epitel, osteosit, osteoblas, keratinosit
Mitogen fibroblas, merangsang sintesis kolagen
IL-2
Sel T
Mengaktifkan sel NK menjadi sel LAK
PDGF
Trombosit, fibroblas, makrofag
Mitogen fibroblas
TGF-B
Megakariosit, makrofag, sel epidermal, fibroblas dan sel T
Merangsang sintesis kolagen, merangsang sintesis fibronektin, menghambat pertumbuhan sel endotel, mitogen fibroblas indirek, kemoatraktan fibroblas & monosit merangsang sekresi IL-1
CATP
CATP I : limfosit
CATP III : trombosit
CATP V : sel mesenkimal
Mitogen fibroblas, meningkatkan sintesis glikosaminoglikan
TNF
Makrofag, sel T, sel B, sel NK
Merusak endotel
Endotelin
Sel endotel
Vasokonstriktor
IFN-g
Sel T, sel NK
Aktifator makrofag, diferensiasi sel T menjadi sel T sitolitik, pertumbuhan sel B

H.    ETIOLOGI
* Etiologi dan patogenesis yang pasti tentang penyakit ini belum diketahui. Diduga patogenesisnya berdasarkan kelainan vascular. Dugaan ini timbul karena sebelum terjadi perubahan pada dermis dan epidermis, telah ada reaksi peradangan vascular dan perivaskular pada jaringan subkutan. Reaksi peradangan dan perubahan vascular subkutan ini akan menyebabkan hilangnya kapiler-kapiler kulit (devaskularisasi) yang selanjutnya mengakibatkan atrofi epidermis dan penebalan dermis.
Hipotesis yang diajukan berdasarkan hasil observasi pada biakan jaringan, ternyata pada scleroderma, fibroblast kulit mensintesis kolagen lebih banyak dibandingkan dengan fibroblast kulit normal. Peningkatan produksi kolagen yang dideposit pada jaringan ikat di sekitar tunika adventisia akan mengekang arteri kecil/arteriol yang bersangkutan, sehingga kontraktilitas dan vasodilatasi arteri kecil dan arteriol terganggu. Akibatnya timbul gangguan vasomotor seperti yang terlihat pada Syndrome Raynaud dan sclerosis sistemik progresif. Kolagen ini dapat melekat pada endotel pembuluh darah. Kemudian terjadi adhesi antara trombosit dan kolagen, atau antara trombosit dan leukosit, yang menyebabkan kerusakan endotel dan membran basal. Peristiwa ini akan diikuti oleh fibrosis reaktif berupa proliferasi intima yang sangat menoniol pada sklerosis sistemik progresif.
Penipisan tunika intima media mungkin terjadinya sekunder terhadap perubahan distensibilitas struktur mikrovaskular yang terjepit diantara materi fibrotik yang terdapat pada intima dan adventisia. Dengan demikian, gangguan metabolisme kolagen pada fibroblast dapat menerangkan baik manifestasi vascular maupun manifestasi fibrosis pada sclerosis sistemik progresif.
*Faktor keturunan yang berperan pada sklerosis sistemik adalah jenis kelamin, dimana didapatkan rasio jenis kelamin wanita dan pria berkisar antara 2 : 1 sampai 20 : 1. walaupun demikian peranan hormon sex pada patogenesis penyakit ini tidak diketahui.
asil penelitian mengenai hubungan antara sklerosis sistemik dengan antigen MHC (Major Histocompability Complex) menunjukkan perbedaan yang bermakna antara satu peneliti dengan peneliti dari negara lain. Penelitian di Inggris menunjukkan hubungannya dengan HLA-A1, B8, DR3 dengan DR5 dan dengan DRw52, sedangkan penelitian di Amerika Serikat tidak menunjukkan hubungannya dengan HLA-DR5. Penelitian di Jepang menunjukkan hubungannya dengan HLA-Bw52, DR2 dan DR4.
Gen lain yang dilaporkan juga berhubungan dengan sklerosis sistemik adalah alel C4-null (C4 AQO dan C4 BQO). C4 AQO dikatakan banyak terdapat pada penderita sklerosis sistemik yang mengidap gen HLA-DR3.
Faktor genetik lain yang tampak pada penderita sklerosis sistemik adalah instabilitas kromosom dimana terdapat peningkatan pemecahan kromosom.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa frekwensi autoantibodi pada berbagai grup etnik ternyata berbeda. Antibody anti sentromer banyak terdapat pada orang berkulit putih di Amerika dan tidak pernah pada orang berkulit hitam. Antibodi anti U1-RNP, anti RNA polimerase I, II, III dan anti U3-RNP banyak didapatkan pada orang Jepang, orang kulit putih dan kulit hitam.

I.       TANDA DAN GEJALA
1.      Fenomena Raynaud (perubahan warna jari tangan dan jari kaki menjadi pucat, kebiruan atau kemerahan, jika terkena panas ataupun dingin).
2.      Nyeri, kekakuan dan pembengkakan pada jari tangan dan persendian
3.      Kulit tangan dan lengan depan tampak mengkilat dan menebal .
4.      Kulit menjadi keras.
5.      Kulit wajah menjadi kencang dan seperti topeng.
6.      Koreng di ujung jari tangan atau jari kaki.
7.      Refluks esofagus atau heartburn (rasa panas di lambung atau dada akibat gangguan pencernaan).
8.      Gangguan menelan.
9.      Penurunan berat badan (kerusakan pada usus halus dapat mempengaruhi penyerapan makanan (malabsorbsi) dan menyebabkan penurunan berat badan).
10.  Sesak nafas (skeroderma bisa menyebabkan terjadinya jaringan parut di paru-paru, sehingga terjadi sesak nafas pada saat penderita melakukan aktivitas).

Gejala lainnya yang mungkin ditemukan :
1.      Nyeri pergelangan tangan.
2.      Kulit menjadi putih atau hitam abnormal.
3.      Nyeri persendian.
4.      Rambut rontok.
5.      Mata terasa perih, gatal dan beberapa kelainan jantung yang bisa berakibat fatal, yaitu gagal jantung dan kelainan irama jantung .
6.      Penyakit ginjal yang berat (gejala pertama kerusakan ginjal biasanya berupa peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba, tekanan darah yang tinggi adalah tanda yang kurang baik, walaupun biasanya bisa dikendalikan dengan pengobatan).
7.      Pembuluh balik yang memberi gambaran seperti laba-laba (telangiektasi) muncul pada jari-jari tangan, dada, wajah, bibir dan lidah.
8.      Benjolan yang mengandung kalsium bisa timbul di jari tangan, daerah bertulang lainnya atau pada sendi.
9.      Kadang-kadang terdengar suara yang mengganggu, bila jaringan yang meradang bergesekan satu sama lain, terutama di lutut dan dibawah lutut.
10.  Jari-jari tangan, pergelangan tangan dan sikut bisa terfiksasi dalam posisi fleksi karena adanya jaringan parut di kulit.
11.  Pertumbuhan sel abnormal di kerongkongan (Sindroma Barrett) terjadi pada sekitar sepertiga penderita, dan hal ini meningkatkan resiko terjadinya penyumbatan kerongkongan atau kanker.
12.  Sistem penyaluran hati bisa tersumbat oleh jaringan parut (sirosis bilier), menyebabkan kerusakan hati dan sakit kuning.
13.  Sindroma Crest juga disebut sklerosis yang terbatas pada kulit (skleroderma), biasanya merupakan bentuk yang tidak terlalu berat dan jarang menyebabkan kerusakan organ.


J.       KOMPLIKASI
a.       Kulit
Pada kasus yang khas trias terdiri atas penipisan epidermis, hilangnya alat-alat seperti rambut, kelenjar keringat, kelenjer lemak di epidermis, dan kulit menjadi tegang. Fibrosis menyebabkan kulit melekat pada struktur dibawahnya. Sklerodaktili ialah keadaaan kakunya kulit bagian distal dari sendi interfalangeal proksimal. Terdapat pembengkakan dan ketegangan lengan bawah dan tangan yang difus dan simetris. Klien tidak dapat dicubit, keringat berkurang, rambut dan lemak menghilang. Kulit tampak kering dan retak-retak. Jari-jari mengalami fleksi kontraktur. Terdapat daerah-daerah dengan pegmentasi dan vitiligo. Epidermis mudah terkelupas karena tipis.
b.      Saluran pencernaan
Hipomotilitas asofagus merupakan manifestasi paling sering dari terlibatnya organ dalam. Sering timbul dini dan dirasakan swebagai rasa penuh di substernal. Karena timbul dini, sangat berguna sebagai gejala diagnostic. Keluhan akan lebih berat jika terjadi esofagitis atau striktur.
Pada keadaaan lanjut, terjadi striktur esophagus yang memerlukan dilatasi mekanis. Dilatasi dan hipoosmolalitas duodenum dan jejunum menyebabkan malabsorbsi sehingga mengakibatkan berat badan menurun. Dapat juga terjadi anemia karena telangiektasis di saluran pencernaan mengalami perdarahan. Ditemukan juga kelainan kolon yang dianggap diagnostic. Kelainan ini ditandai dengan terbentuknya kantong-kantong bermulut lebar pada dinding kolon. Biasanya kalainan ini asimptomatik
c.       Paru
Scleroderma paru yang klasik ditandai dengan fibrosis intestinal yang klasik ditandai dengan fibrosis interstitial difus. Keluhan mungkin baru timbul lama setelah terdapat gangguan fungsi paru dan kelainan pada gambaran radiologist. Jarang ditemukan jari clubbing. Pengawasan terhadap perkembangan hipertensi paru dapat dilakukan dengan memperhatikan peningklatan intensitas komponen pulmonal pada bunyi jantung 2 dan derajat pecahnya (splitting bunyi jantung 2. ini penting karena pada kebanyakan penderita telah terdapat hipertensi paru sebelum timbul keluhan pada paru.
d.      Jantung
Kelainan jantung pada scleroderma ada 3 macam :
·         Sclerosis koroner : merupakan kelainan yang paling tidak spesifik. Jarang timbul angina atau infark jantung.
·         Fibrosis miokard.
·         Kelainan perikard : berupa epikarditis akut, efusi perikard tanpa gejala yang berlangsung lambat tapi progresif.
Gejala gangguan jantung sering sukar dibedakan dengan gejala gangguan paru, misalnya dyspnea d’effort atau nafas pendek. Untuk ini kadang-kadang diperlukan pemeriksaan penunjang lain seperti foto rongten/analisis jantung, EKG/ekokardiografi dan kateterisasi jantung.

e.       Ginjal
Tanda-tanda klinis kelainan ginjal yaitu hipertensi ( tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg), proteinuria > 1+, dan uremia. Kelainan ginjal sering timbul akut. Factor presipitasi untuk timbulnya gangguan ini adalah berhurangnya volume darah sehingga aliran darah ginjal terganggu, misalnya karene operasi besar, perdarahan, pemakaian diuretic yang berlebihan.

K.    FENOMENA RAYNAUD, KELAINAN KULIT DAN KELAIANAN SISTEMIK
1.      Fenomena Raynaud
adalah perubahan warna yang episodik (polar, sianosis, eritema) yang terjadi sebagai respons terhadap lingkungan yang dingin atau stress emosional. Walaupun perubahan yang spesifik umumnya terjadi pada jari tangan, tetapi dapat juga mengenai ibu jari kaki, daun telinga, hidung dan lidah. Pada fase polar dan sianosis, penderita akan merasa nyeri dan kaku, sedang pada fase hiperemis, penderita akan merasa seperti terbakar.
Fenomena Raynaud dapat dijumpai pada beberapa penyakit kolagen yaitu 95% pada penderita sklerosis sistemik, 91% pada penderita Mixed Connective Tissue Diseases (MCTD) dan 40% pada penderita lupus eritematosus sistemik. Selain itu, fenomena Raynaud juga dapat dijumpai pada berbagai trauma akibat perkerjaan (vibrasi, mikrotrauma, vinil klorida), efek samping obat (penghambat reseptor-beta), kelainan onkologik dan hematologik (disglobulinemia, kelainan mieloproliferatif, sindrom paraneoplastik) dan hipotiroidisme. Populasi fenomena Raynaud pada populasi umum tidak diketahui dengan pasti, diperkirakan sekitar 10 – 20 %. Fenomena Raynaud pada penyakit kolagen terutama pada sklerosis sistemik umumnya berlangsung lama sebelum seluruh gejala penyakit kolagen tersebut timbul, sehingga kadang-kadang sulit membedakannya dengan fenomena Raynaud primer yang tak diketahui penyebabnya.
Table : 3 Perbedaan Fenomena Raynaud Primer dengan Fenomena Raynaud
L.     pada Sklerosis Sistemik.23

Fenomena Raynaud Primer
Sclerosis Sistemik
·         Perempuan : Laki-laki
·         Umur mula timbul
·         Frekwensi serangan perhari
·         Faktor pencetus
·         Proliferasi intimal
·         Antibodi antinuclear
·         Antibodi antisentromer
·         Antibodi anti-Sel-70
·         Kapilaroskopi abnormal
·         Aktifasi trombosit in vivo
Ø  20 : 1
Ø  Pubertas
Ø  >10 x
Ø  Dingin, emosi
Ø  Negatif
Ø  Negatif
Ø  Negatif
Ø  Negatif
Ø  Negatif
Ø  Negatif
§  4 : 1
§  > 24 tahun
§  >5 x
§  Dingin
§  Positif
§  90 – 95%
§  50 – 60%
§  20 – 30%
§  >95%
§  >75%
Fenomena Raynaud merupakan gejala awal dari 70% penderita sklerosis sistemik. Sebagian kecil (5%) dari penderita sklerosis sistemik yang tidak mengalami fenomena Raynaud umumnya laki-laki dan mempunyai prognosis yang buruk karena risiko yang tinggi untuk mendapatkan kelainan ginjal dan miokardial.
Berbagi faktor turut-turut berperan pada patogenesis fenomena Raynaud pada sklerosis sistemik. Sel endothelial yang rusak akan mengaktifkan trombosit. Trombosit yang diaktifkan akan menghasilkan vasokonstriktor, seperti 5-hidroksitriptamin (5-HT), tromboksan-Az (Tx-Az) dan ADP. Untuk mengatasi hal ini, sel endothelial yang masih utuh akan menghasilkan vasodilator seperti prostasiklin, Monoamineoxidase (MAO) dan endothelium-dependent relaxation factor (EDRF). Tetapi sel endothelial yang rusak tidak dapat bereaksi terhadap vasodilator tersebut. Selain itu sel endothelial yang rusak juga menghasilkan vasokonstriktor endothelin-1. akibatnya akan terjadi vasokonstriksi. Penyempitan lumen akan makin diperberat oleh adanya hiperplasi intima. Selain itu pada sklerosis sistemik juga terjadi gangguan deformabilitas eritrosit, sehingga vasokonstriksi darah akan meningkat dan oklusi pembuluh darah akan makin berat.
Beratnya fenomena Raynaud pada sklerosis sistemik ditandai dengan timbulnya iskemi jari yang akan diikuti oleh ulserasi dan gangren.
Gambaran fenomena Raynaud juga terjadi pada berbagai arteri kecil dan arteriol pada organ viseral, sehingga timbul berbagi kelainan pada organ tersebut. Perubahan yang terjadi pada mikrosirkulasi meliputi timbulnya celah diantara sel endotel, vakuolisasi dan pembengkakan sel endotel, nekrosis seluler, duplikasi lamina basalis dan infiltrasi seluler perivaskuler oleh limfosit, plasmosit dan makrofag. Kelainan vaskuler ini menyebabkan penderita sklerosis sistemik sangat rentan terhadap perubahan hemodinamika, dimana hipovolemi ringan dapat mencetuskan krisis renal, sedangkan hipervolemia akan mencetuskan edema pulmonal.
Kerusakan vaskuler pada sklerosis sistemik akan menyebabkan peningkatan kadar berbagai petanda seperti faktor von Willebrand, trombomodulin, ICAM – 1 (interleukin adhesion malecule – 1) serum dan ELAM – 1 (endhotelial leucocyte adhesion molecule – 1) serum. Peningkatan kadar faktor van Willebrand berhubungan dengan progesifitas fenomena Raynaud, keterlibatan banyak organ dan tingginya angka mortalitas.
Pada sklerosis sistemik juga didapatkan gangguan fibrinolisis, karena kerusakan sel endotel menyebabkan penurunan sintesis aktivator plasminogen dan berbagai faktor pro dan antikoagulan.
Secara non-invasif, mikroangiopati pada sklerosis sistemik dapat diperiksa dengan kapilaroskopi lipat kuku.
2.      Kelainan Kulit
Pada tahap awal akan tampak edema pada tangan dan jari tangan yang tidak disertai rasa nyeri. Kadang-kadang dapat disertai timbulnya sindrom terowongan karpal (carpal tunnel syndrome) akibat kompresi nervus medinus. Edema ini berhubungan dengan deposisi glikosaminoglikan di dalam dermis atau efek hidrostatik akibat kerusakan vaskuler.
Beberapa minggu sampai beberapa bulan kemudian, edema akan diikuti dengan indurasi sehingga kulit menjadi tebal dan keras. Penebalan kulit akan mengenai jari tangan dan bagian yang lebih proksimal yaitu dorsum manus, lengan atas, muka dan akhirnya ke seluruh tubuh. Kelainan ini patognomonis untuk sklerosis sistemik karena hampir tidak pernah ditemukan pada penyakit lain. Umunya kelainan pada bagian distal tubuh lebih berat daripada di bagian proksimal tubuh. Bersamaan dengan kelainan tersebut, lipatan kelainan tersebut lipatan kulit akan menghilang, kulit akan tampak mengkilap dan terjadi hipo dan hiperpigmentasi.
Pada sklerosis sitemik yang difus, penebalan kulit akan menyebar ke seluruh tubuh, terutama pada dinding dada dan abdomen sedangkan pada kelainan yang terbatas pada kulit akan didapatkan pada jari atau jari dan muka.
Pada sebagian kecil penderita (2%), dapat ditemukan tanpa kelainan kulit (Sklerosis sistemik sine skleroderma).
Pada fase awal indurasi, secara histologik akan tampak peningkatan serat kolagen pada dermis, hiperplasi dan hialinisasi subintimal arteriol, dan infiltrasi limfosit, terutama sel T.
Kulit yang menebal makin lama akan makin menebal. Tetapi kadang-kadang akan terjadi pelunakan yang biasanya dimulai dari bagian tubuh yang sentral. Jadi kulit yang mengeras terakhir akan membaik lebih dahulu.
Beberapa tahun kemudian, akan tampak bintik-bintik teleangiektasi, terutama pada muka, jari, lidah dan bibir. Teleangiektasis terutama terjadi pada subtipe yang terbatas (CREST Syndrome), tetapi dapat juga terjadi pada subtipe yang difus. Pada subtipe yang terbatas, juga dapat timbul kalsinosis subkutan. Kalsinosis subkutan dapat hanya berupa titik kecil, tetapi dapat juga berupa masa yang besar.
Pada stadium akhir, akan timbul atropi dan penipisan kulit terutama pada bagian ekstensor sendi yang kontraktur, sehingga dapat terjadi ulserasi akibat tarikan mekanik pada bagian itu
3.      Kelainan Sistemik
Berbagai kelainan sistemik dapat timbul pada sklerosis sistemik yang umumnya terjadi akibat kelainan vaskuler pada organ yang bersangkutan.
Pada paru dapat timbul fibrosis paru dan atau kelainan vaskuler paru. Fibrosis paru umumnya terjadi pada kedua basl paru yang dapat dilihat jelas pada gambaran radiologik toraks. Keadaan ini akan menyebabkan penurunan kapasitas difusi karbon monoksida dan pada akhirnya akan terjadi penurunan kapasitas vital (penyakit paru restriktif). Pada bilasan bronkoalveolar, akan ditemukan banyak sel radang terutama limfosit dan makrofag. Kelainan paru umumnya lebih berat pada penderita dengan antibodi antitopoisomerase – 1 dan anti U3 – RNP yang positif dan lebih ringan pada penderita dengan antibodi antisentromer yang positif.
Hipertensi pulmonal dapat terjadi pada sebagian kecil penderita, terutama pada subtipe terbatas dengan antibodi antisentromer yang positif.
Untuk mencegah perburukan fungsi, maka deteksi dini kelainan paru pada sklerosis sistemik harus dilakukan. Umumnya kelainan paru tidak memberikan gejala yang spesifik, kecuali setelah ada kelainan hemodinamika atau penurunan kapasitas vital yang berat. Untuk itu dianjurkan pemeriksaan uji fungsi paru secara berkala (3 – 6 bulan sekali) dan bila dicurigai terdapat penurunan fungsi paru, dilakukan tomografi dengan komputer (CT – Scan) dan bilasan bronkoalveolar.
Kelainan pada sistem gastrointestinal, dapat mengenai esofagus bagian distal dan saluran cerna yang lebih bawah. Pada esofagus distal akan terjadi dismotalitas motorik sehingga timbul disfagia dan refluks gastroesofageal. Peristaltik esofagus akan menurun dan pada pemeriksaan flouroskopi akan tampak hipomotalitas. Pada esofagus distal akan terjadi metaplasi mukosa (metaplasi Barret) yang merupakan predisposisi timbulnya adenokarsinoma esofagus, tetapi keganasan ini jarang terjadi pada sklerosis sistemik. Pada usus kecil akan terjadi hipomotalitas dan berkurangnya lapisan otot. Atropi pada lapisan mukosa dan otot usus kecil, akan menyebabkan udara masuk ke dinding usus sehingga timbul pnematosis intestinalis yang akan tampak pada gambaran radiologik. Pada kolon juga dapat terjadi atropi lapisan otot sehingga mengakibatkan timbulnya divertikel yang bermulut lebar yang khas untuk sklerosis sistemik. Hipomotalitas kolon akan menyebabkan konstipasi dan pada beberapa keadaan dapat terjadi atropi otot sfingter ani yang mengakibatkan inkontinensia alvi dan prolaps rekti.
Kelainan miokardial, jarang didapatkan pada sklerosis sistemik tetapi bila didapatkan akan meningkatkan angka mortalitas. Umumnya akan terjadi fibrosis pada sistem konduksi jantung, sehingga mengakibatkan timbulnya aritmia dan kematian jantung mendadak. Berbeda dengan oragan lain, kelainan pada pembuluh koroner jarang didapatkan pada sklerosis sistemik. Kadang-kadang dapat timbul perikarditis yang ditandai dengan penebalan perikardium parietal dan viseral yang berakhir dengan perikarditis konstriktif. Selain itu dapat juga terjadi gangguan fungsi ventrikel kanan sebagai akibat hipertensi pulmonal.
Pada ginjal, sklerosis sistemik akan menyebabkan krisis renal skleroderma akibat hiperreninemia yang ditandai oleh peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba, insufisiensi renal yang progesif dan hemolisis mikroangiopatik. Kelainan ini umumnya terjadi pada subtipe yang difus dan sangat jarang terjadi pada subtipe yang terbatas. Krisis renal merupakan penyebab kematian yang utama pada sklerosis sistemik. Penyebab uatama kelainan ginjal adalah kelainan vasuker, terutama pada arteri arkuata dan interlobular. Pada dinding pembuluh darah tersebut terjadi hiperplasi mukoid subintimal yang akan berkembang menjadi nekrosis fibrinoid.
Pada persendian, dapat timbul poliartralgia terutama pada subtipe yang difus. Secara radiologik akan tampak gambaran atropati erosive. Pada falang distal, dista radius dan ulna, ramus mandibula dan permukaan superior iga posterior dapat terjadi osteolisis akibat hipovaskularisasi sehingga terjadi resopsi tulang pada tempat tersebut.
Pada otot, dapat terjadi atropi akibat keterbatasan pengunaan sendi. Miopati yang lain juga dapat terjadi yang ditandai oleh kelemahan otot, terutama otot proksimal dan peningkatan kadar ezim otot serum (keratin-kinase dan aldolase). Secara histologik akan tampak serat miofibril yang mengalami fibrosis.
Xerostomia ditemukan pada 20 – 30 % penderita sklerosis sistemik dan hal ini berhubungan dengan sklerosis atau infiltrasi limfosit pada kelenjar liur. Separuh dari penderita xerostomia memiliki antibodi terhada presipitin syogren yaitu SS-A (Ro) dan anti SS-B (La).
Tiroiditis Hashimoto dan fibrosis tiroid juga dapat ditemukan pada sklerosis sistemik dan hal ini akan menyebabkan hipotiriodisme

M.   PENATALAKSANAAN
v  Medikamentosa:
1.      Obat vasoaktif
Ø  Fenoksibenzamin, suatu obat alfa adrenergic, diberikan peroral, 10-40 mg/hari.
Ø  Guanetidin dengan dosis 40 mg, sekali sehari.
Ø  Metildopa, kerjanya menurunkan depot katekolamin. Dimulai dengan dosis rendah sampai mencapai dosis 2 g/hari
Ø  Reserpin, juga merupakan penghambat simpatis. Dianjurkan pemberian dosis rendah sacara intra arteri untuk menghindari pengaruh sistemik dan mencapai pengaruh maksimal pada arteri perifer. Pemberian 0,5 mg menghasilkan perlindungan terhadap vasokonstriksi perifer selama ± 6 bulan.
2.      Obat-obat antiinflamasi
Ø  Asam asetilsilat, terutama untuk atralgia dan mialgia. Dosis mungkin mencapai 4-5 g/hari.
Ø  Kortikosteroid, diberikan jika terdapat tanda-tanda peradangan pada awal penyakit.
Ø  Potassium para-aminobenzoat 12-16 g/hari. Efek sampingnya terhadap saluran pencernaan serta timbulnya reaksi alergi di kulit menyulitkan pemberian jangka lama.
Ø  Antimalaria
3.      Lain-lain
Ø  Rheomacrodex
Ø  Imunosupresif misalnya klorambusil.
Ø  Colchicines, 7-10 mg/minggu. Mengurangai sekresi proklagen oleh fibroblast.
Ø  D- penisilamin, dosis 0,5-2,0 g/hari.



v  Fisioterapi
Fisioterapi merupakan hal yang tak boleh dilupakan pada penatalaksanaan scleroderma. Latihan range of motion aktif/pasif, pemanasan. Keduanya bermanfaat untuk memperbaiki peredaran darah dankontraktur yang disebabkan oleh fibrosis pada sendi dan kulit. Pencegahan vasokonstriksi karena dingin dan usaha mempertahankan pembuluh darah dalam keadaan sedikit vasodilatasi dilakukan misalnya dengan melindungi tubuh terhadap dingin dan melakukan latihanjasmani bertahap.
v  Tindakan operatif
Tindakan operatif terutama ditujukan terhadap :
§  Ulserasi : debridement dan sebagainya
§  Simpatektomi : hasilnya hanya bersifat sementara, tidak berlangsung lama
v  Pengobatan khusus
Bergantung pada organ/system yang terkene misalnya esophagus, usus halus, paru, ginjal, jantung, dan sebagainya.
v  Perawatan di Rumah sakit
Perawatan di Rumah sakit perlu silakukan apabila ditemukan kegagalan kardiopulmonal, kegagalan ginjal, gangguan saluran pencernaan yang berat berupa diare, muntah, dehidrasi, malnutrisi, memerlukan bimbingan fisioterapi yang ketat, dan persiapan operasi.
v  Aspek psikososial
Perlu penjelasan mengenai penyakit disertai sokongan penderita maupun keluarganya.

N.    PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaaan radiologik yang biasanya dilakukan adalah :
1.      Foto rongten oesophagus maag duodenum (OMD) : tampak hipoosmolalitas esophagus.
2.      Foto rongten tangan/lengan : tampak resorpsi falang, kalsifikasi subkutan.
3.      Foto rongten toraks : fibrosis interstitial difus di paru-paru.
4.      Foto rongten usus halus : dilatasi jejenum , ileum.
5.      Foto rongten kolon : gambaran kantong-kantong pada kolon.
6.      Foto rongten gigi : pelebaran membran periodontal.
7.      Arteriogram perifer : penyumbatan pembuluh darah.
8.      Arteriogram ginjal disertai pemeriksaan aliran darah korteks ginjal.
Gambaran histopatologik kulit menunjukkan adanya penebalan epidermis disertai menghilangnya organ-organ epidermis dan tampak pula bertambahnya jaringan kolagen dalam dermis.



ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN SKLEROSIS SISTEMIK

A.    PENGKAJIAN
a.       Keadaan Umum
Meliputi kondisi seperti tingkat ketegangan/kelelahan, tingkat kesadaran kualitatif atau GCS dan respon verbal klien.
b.      Tanda-tanda Vital
Meliputi pemeriksaan:
§  Tekanan darah: sebaiknya diperiksa dalam posisi yang berbeda, kaji tekanan nadi, dan kondisi patologis.
§  Pulse rate
§  Respiratory rate
§  Suhu
c.       Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk diagnosis penyakit ini:
v  Inspeksi
Pada pemeriksaan fisik, saat inspeksi ditemukan adanya kelainan berupa adanya perubahan pada kulit seperti ulserasi (borok atau koreng), kalsifikasi (pengapuran), dan perubahan pigmentasi (warna kulit), fenomena raynaud (perubahan warna jari tangan dan jari kaki menjadi pucat, kebiruan, atau kemerahan, jika terkena panas ataupun dingin), kulit tangan dan lengan depan tampak mengkilat dan menebal, kulit wajah tampak kencang seperti topeng. Apabila scleroderma menyebabkan terjadinya jaringan parut di paru-paru, akan ditemukan dipsnea pada saat bernapas, adanya penggunaan otot bantu pernapasan, klien tampak sesak nafas. Apabila scleroderma menyebabkan jaringan parut di jantung klien tampak menglami palpitasi, terdapat sianosis sikumoral.
v  Palpasi
Ditemukan adanya pembengkakan, nyeri tekan, dan kekakuan pada persendian. Kulit menjadi keras saat diraba, apabila scleroderma menyebabkan jaringan parut dijantung, paru, ginjal dan organ-organ lainya akat detemukan tacicardia, denyut nadi meningkat, turgor kulit menurun, Fremitus raba meningkat disisi yang sakit, Hati mungkin membesar.
v  Perkusi
Apabila scleroderma menyebabkan jaringan parut di paru maka didapatkan suara perkusi pekak bagian dada dan suara redup pada paru yang sakit.
v  Auskultasi
Auskultasi pada scleroderma yang menyebabkan jaringan parut di jantung sehingga menimbulkan gagal jantung baik kanan maupun kiri akan ditemukan Bunyi jantung ; S3 (gallop) adalah diagnostik, S4 dapat terjadi, S1 dan S2 mungkin melemah, adanya murmur. Sedangkan apabila scleroderma menyebabkan jaringan parut pada paru akan terdengar stridor dan ronchii pada lapang paru.
d.      Pemeriksaan Penunjang
Pemerisaan radiologik banyak membantu dalam menegakkan diagnosis scleroderma. Pemeriksaaan radiologik yang biasanya dilakukan adalah rontgen.

Pada pengkajian data yang bisa di data adalah:
Ø  Data Subjektif :
ü  Pasien mengatakan : “mengalami sesak napas”
ü  “mengalami nyeri”
ü  “mengalami kesulitan dalam menelan”
ü  “Malu dengan penampilannya”
ü  “tidak dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari”
ü  “nyeri dan merasa kaku pada persendian”
ü  “ kulitnya terasa keras dan mengering”
ü  “gelisah atau jantungnya berdebar-debar.
Ø  Data Objektif :
ü  Terdapat peningkatan RR (RR >20 x/menit)
ü  Pada pemeriksaan rotgen tampak atropi pada tangan, fibrosis difus pada paru, dilatasi jejunum dan ileum, tampak hipoosmolalitas esophagus.
ü  Tes fungsi paru seringkali menunjukkan adanya penyakit paru restriktif.
ü  Tampak kekakuan pada tangan.